ProKontra, Ponorogo – Tahun ini, Grebeg Suro Ponorogo kembali hadir dengan skala besar, namun dengan tantangan pendanaan yang cukup berat. Pemerintah Kabupaten Ponorogo hanya menganggarkan Rp 350 juta dari APBD, jauh dari kebutuhan ideal yang mencapai Rp 5,7 miliar.
“Memang dari APBD tersedia anggaran Rp 350 juta, namun total kebutuhannya hampir Rp 5,7 miliar,” kata Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Ponorogo, Judha Slamet Sarwo Edi, Rabu (11/6).
Meski dana terbatas, Pemkab justru melihat ini sebagai momentum untuk mendorong Grebeg Suro menjadi event yang mandiri dan dikelola secara profesional. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menggandeng pihak ketiga untuk mengambil alih pengelolaan.
“Sudah mempunyai nilai jual, artinya sudah menjadi komoditas event yang bisa kita tawarkan kepada Event Organizer (EO) untuk menata kelolanya menjadi event yang berkualitas,” terangnya.
Menjaga Bumi Project, EO asal Bandung, bersedia menjadi mitra dalam pelaksanaan Grebeg Suro 2025 dengan skema sharing dana, di mana Pemkab tetap memberikan dukungan anggaran Rp 350 juta.
Judha menjelaskan, sebagian besar kebutuhan dana dialokasikan untuk keperluan teknis, seperti pengadaan panggung, lighting, video mapping, sound system, hingga venue. Sedangkan sekitar Rp 1 miliar digunakan untuk side event dan kirab sejarah.
Dengan durasi pelaksanaan 10 hari, Grebeg Suro tahun ini ditargetkan semakin menarik, apalagi Festival Nasional Reog Ponorogo (FNRP) yang menjadi bagian dari Grebeg Suro sudah terdaftar dalam Kharisma Event Nusantara (KEN) Kemenparekraf.
“Ini sudah menjadi event berkelas nasional. Dengan begitu, akan menjadi pusat perhatian wisatawan. Tentunya mitra kerja dan sponsor akan datang memberikan support,” harapnya.
Demi keberlangsungan acara, sistem pembiayaan pun dilakukan secara kolaboratif. EO akan diberi ruang mengelola sistem ticketing Festival Nasional Reog Ponorogo sebagai bagian dari sumber pendapatan.
Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko atau Kang Giri menegaskan, minimnya anggaran bukan berarti pemerintah tidak mendukung. Ia justru mendorong agar event ini bisa menjadi motor penggerak ekonomi yang tidak sepenuhnya bergantung pada APBD.
“Anggarannya memang kami slot sedikit, bukan karena pelit. Tapi kami mencoba mengapresiasi harga kegagahan Grebeg Suro, termasuk desainnya. Ayo dikapitalisasi menjadi modal untuk menyelenggarakan Grebeg Suro,” ujarnya.
Kang Giri berharap kepala dinas dan seluruh pihak terlibat bisa mengoptimalkan kreativitas untuk menyulap Grebeg Suro menjadi event yang besar, berkualitas, dan tidak membebani anggaran daerah.
“Mampu menjual, dan mengelaborasi menjadi gagah, murah, tidak membebani APBD, tapi kualitasnya tetap harus lebih dahsyat dan lebih baik,” pungkasnya.